
Masa remaja pertengahan,
khususnya di jenjang SMA, merupakan fase transisi yang penuh warna. Pada tahap
ini, siswa mengalami berbagai perubahan fisik maupun psikologis. Kematangan
organ reproduksi, pergeseran afiliasi sosial ke arah teman sebaya, hingga sikap
impulsif kerap muncul sebagai bagian dari proses tumbuh kembang. Mereka juga
sering dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial, seperti jurusan
kuliah yang ingin dipilih, perbedaan minat dengan lingkungan sekitar, atau rasa
kurang percaya diri meski sudah berusaha keras di bidang tertentu. Semua itu
mencerminkan proses pencarian jati diri.
Salah satu isu yang kerap menjadi
perhatian di masa remaja adalah pacaran. Dari sudut pandang agama Islam,
pacaran dipandang sebagai perbuatan yang dilarang dan berdosa. Pesan ini
ditekankan kepada siswa untuk menumbuhkan kesadaran spiritual yang kuat. Namun,
di sisi sosial, pandangan bisa lebih beragam. Budaya populer melalui media
sosial, film, maupun tayangan hiburan sering kali menormalisasi bahkan
meromantisasi pacaran, sehingga menimbulkan rasa penasaran di kalangan remaja.
Meski terlihat sepele, pacaran
pada usia sekolah menyimpan berbagai risiko. Dari sisi fisik, tidak jarang
hubungan ini berujung pada kekerasan, perilaku seksual di luar pernikahan,
hingga kehamilan yang tidak diinginkan. Dari sisi psikologis, pacaran bisa
mengganggu prestasi belajar, memunculkan kekacauan emosional, hingga memicu
stres karena konflik dalam hubungan.
Ibu Dessi Andhitya Saraswati,
S.Psi, M.Psi, sebagai psikolog sekolah mencontohkan bagaimana pengalaman masa
kecil dapat memengaruhi hubungan remaja. Misalnya, seorang siswi yang merasa
nyaman bercerita kepada teman lawan jenis ternyata memiliki kebutuhan emosional
sejak kecil akibat kurangnya kedekatan dengan ayah. Kondisi seperti ini
membuatnya lebih mudah percaya dan bergantung pada perhatian dari lawan jenis.
Hal ini menjadi pengingat pentingnya peran keluarga dalam membentuk pola
hubungan yang sehat.
Sebagai alternatif positif,
banyak cara bisa dilakukan remaja untuk menyalurkan energi dan mengeksplorasi
diri tanpa harus terjebak dalam hubungan pacaran. Menghabiskan waktu
berkualitas bersama keluarga, mendekatkan diri kepada Tuhan, rutin berolahraga,
menulis jurnal, hingga terlibat dalam kegiatan sosial yang bermanfaat adalah
beberapa langkah yang lebih sehat dan produktif.
SMA Alfa Centauri sendiri
menegaskan komitmennya dalam menjaga lingkungan belajar yang kondusif. Melalui
pendekatan ini, sekolah berupaya tidak hanya memberikan pemahaman dari sisi
psikologis dan agama, tetapi juga membentuk karakter disiplin yang jelas pada
siswa.
Komitmen ini semakin dipertegas
melalui Deklarasi Ikrar Anti Pacaran yang diikrarkan oleh siswa-siswi.
Dalam salah satu poin utamanya, mereka menyatakan:
“Kami berikrar untuk menjauhi
segala bentuk pacaran yang dapat menjerumuskan kami pada perbuatan yang
dilarang oleh agama dan norma sekolah.”
Ikrar tersebut menjadi wujud
kesadaran bersama, bahwa menjaga diri dari perilaku berisiko adalah langkah
penting untuk menata masa depan yang lebih cerah.