
Dalam sambutannya, Kepala Sekolah SMA Alfa Centauri, Bapak Agus Rustandi, M.Si., M.M., menyoroti rendahnya partisipasi ayah dalam kegiatan sekolah. Beliau menyayangkan bahwa sebagian besar kegiatan sekolah yang melibatkan orang tua biasanya didominasi oleh ibu, padahal materi yang disampaikan sangat penting bagi kedua orang tua. Beliau mengutip Hadis Riwayat Bukhari tentang tanggung jawab setiap pemimpin dan kepala keluarga atas yang dipimpinnya, menegaskan betapa sentralnya peran ayah dalam pembentukan karakter anak. Seminar ini, lanjutnya, diharapkan menjadi bekal bagi para ayah untuk memahami tanggung jawab mereka di tengah padatnya rutinitas sehari-hari.
Ketua POMG turut menambahkan kekhawatiran terhadap meningkatnya kasus krisis mental di kalangan remaja, terutama menjelang masa peralihan menuju perguruan tinggi. Menurutnya, orang tua sering kali tidak menyadari bahwa anak menyimpan kegelisahan dan merasa kurang diperhatikan secara emosional.
Dalam pemaparannya, Hari Setyowibowo, M.Psi., Ph.D., menjelaskan hasil penelitian mengenai akar permasalahan krisis mental di kalangan remaja, yang antara lain disebabkan oleh kurangnya makna hidup, rasa menjadi beban, dan minimnya keterampilan praktis dalam menghadapi tantangan sehari-hari. Hasil survei terhadap 86 siswa SMA Alfa Centauri juga menunjukkan adanya distorsi komunikasi antara orang tua dan anak. Sementara siswa menempatkan masalah pribadi sebagai salah satu sumber stres terbesar, para orang tua justru lebih menekankan isu pendidikan dan kesehatan, sehingga sisi emosional anak kerap terabaikan.
Beliau menegaskan pentingnya kehadiran ayah dalam komunikasi keluarga. Saat menjawab pertanyaan orang tua siswa, narasumber menjelaskan bahwa anak secara alami lebih mudah menunjukkan afeksi kepada ibu, sedangkan kedekatan dengan ayah lebih sering terbangun melalui percakapan rasional seperti diskusi masa depan dan karier. Untuk menjembatani jarak emosional, ayah disarankan membangun kesamaan minat, menciptakan rasa aman dan nyaman, serta menjaga keseimbangan antara batas dan kebebasan anak.
Menurutnya, keterampilan utama dalam membangun relasi dengan anak adalah kemampuan untuk mendengarkan dengan empati. Orang tua perlu hadir secara utuh, memulai percakapan dari hal-hal ringan, dan menciptakan momen kebersamaan yang alami. Anak tidak selalu membutuhkan nasihat panjang—sering kali mereka hanya ingin didengarkan dan dimengerti.
Sebagai penutup, beliau menegaskan bahwa fatherless tidak selalu berarti ketidakhadiran fisik seorang ayah. Yang terpenting adalah komunikasi yang hangat dan keterlibatan emosional yang nyata. Dukungan terbaik dari seorang ayah adalah memberikan umpan balik positif yang menumbuhkan rasa percaya diri dan menunjukkan bahwa ia “hadir” dalam hidup anaknya, meski tak selalu di sisi mereka.